BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Apa
pengertian hermeneutika ?
Secara etimologi “hermeneutik” berasal dari bahasa Yunani hermeneuein
yang berarti “menafsirkan”. Maka, kata benda hermeneia secara
harfiah dapat diartikan sebagai “menafsirkan” atau interpretasi. Sedangkan hermeneutika
dari segi terminologisnya dapat dikatakan bahwasanya hermeneutika adalah suatu
proses mengubah sesuatu dari situasi dan makna yang diketahui menjadi
dimengerti.[1]
Menurut Richard E. Palmer, dua aliran dapat dilihat dalam meneliti
sebuah definisi hermeneutik. Aliran pertama, menganggap hermeneutik sebagai
kerangka umum prinsip-prinsip metodologi yang mendasari penafsiran. Sementara
aliran kedua, memandang hermeneutik sebagai eksplorasi karakter filosofis dan
syarat yang dibutuhkan bagi semua pemahaman. Braaten mengambil dua aliran ini,
ketika dia mendefinisikan hermeneutik sebagai ilmu pengetahuan yang
merefleksikan tentang bagaimana sebuah kata atau peristiwa dan kultur masa lalu
dapat dimengerti secara eksistensial menjadi bermakna dalam situasi kita sekarang
ini. Menurutnya, “hermeneutik mencakup, baik aturan – aturan metodologi yang
diaplikasikan dalam penafsiran maupun asumsi – asumsi epistemologis dalam
pemahaman.[2]
2.
Bagaimana
sejarah perkembangan hermeneutika ?
Hermeneutik dapat dimaknai semacam proses dari yang samar ke yang
jelas yang abstrak ke yang konkrit. Bahkan kehendak tuhan juga tak dapat
mengelak dari bahasa. Ia termanifestasi dalam ayat kitab suci. Sejarah
hermeneutik dapat ditelusuri dari sana. Khususnya dalam sejarah teologi Yahudi.
Mulai dari teks Taurat, sabda Tuhan itu dipelajari, ditafsirkan, untuk kemudian
diejawantahkan kedalam hukum – hukum agama. Pada masa ini, sudah muncul benih
hermeneutik. Saat itu, pembacaan terhadap tekspun telah menemui polemiknya,
apakah dibaca secarah harfiah atau simbolik. Imbasnya, memang memunculkan dua
cara pandang pembacaan. Dalam islam sekalipun, hal ini muncul ketika teks kitab
suci tak mengacu pengertian secara eksplisit dan berpotensi multi-tafsir, akan
terus ada ijtihad manusia dari berbagai sudut dan latar pandangnya.[3]
3.
Bagaimana
cara kerja hermeneutika ?
Pada dasarnya semua objek itu netral sebab objek adalah objek. Subjek
dan objek adalah term – term yang korelatif atau saling menghubungkan diri satu
sama lain. Tanpa objek tidak akan ada subjek, sebuah benda menjadi objek karena
kearifan subjek yang menaruh perhatian atas benda itu. Arti atau makna
diberikan kepada objek oleh subjek, sesuai dengan cara pandang subjek. Jika
tidak demikian, maka objek tidak bermakna sama sekali. Semua intrepretasi
mencakup pemahaman. Namun pemahaman itu sangat kompleks didalam diri manusia
sehingga para pemikir ulung maupun psikolog tidak pernah mampu untuk menetapkan
kapan seseorang mulai mengerti. Oleh karena itulah, dapat kita pahami bahwa
mengerti secara sungguh – sungguh akan dapat berkembang bila didasarkan atas
pengetahuan yang benar atau (correct). Hermeneutik menegaskan bahwa
manusia autentik selalu dilihat dalam konteks ruang dan waktu dimana manusia
sendiri mengalami atau menghayatinya. Meskipun hermeneutik atau interprestasi
termuat dalam kesusastraan dan linguistic, hukum, sejarah, agama, dan disiplin ilmu
yang lainnya yang berhubungan dengan teks, namun akarnya tetap filsafat.[4]
4.
Bagaimana
hermeneutika dalam kajian agama islam ?
Hermeneutik dalam pemikiran Islam pertama-tama diperkenalkan oleh
Hasan Hanafi. Tradisi hermeneutik telah dikenal luas diberbagai ilmu-ilmu Islam
tradisional, terutama tradisi ushul al-fiqh dan tafsir al-Qur’an. Oleh Hasan
Hanafi, penggunaan hermenutik pada mulanya hanya merupakan eksperimentasi
metodologis untuk melepaskan diri dari positivisme dalam teoritis hukum Islam
dan ushul fiqh. Sampai di situ, respon terhadap tawaran atas hermeneutiknya
hampir-hampir tidak ada.
Satu hal yang menonjol dari Hermeneutik Hasan Hanafi dalam
pemikirannya secara umum adalah muatan idiologisnya yang syarat-syarat dan
maksudnya sangat praktis. Pemikiran semacam ini, justru sangat berbeda dengan
meinstream umat Islam yang masih terjebak oleh lembaga-lembaga tradisionalisme
dan ortodoksi.
Hermeneutik, sebagaimana disebut di atas, pada dasarnya merupakan
suatu metode penafsiran yang berangkat dari analisis bahasa dan kemudian melangkah
keanalisis konteks, untuk kemudian “menarik” makna yang didapat ke dalam ruang
dan waktu saat proses pemahaman dan penafsiran tersebut dilakukan. Jika
pendekatan hermeneutika ini dipertemukan dengan kajian al-Qur’an, maka
persoalan dan tema pokok yang dihadapi adalah bagaiman teks al-Qur’an hadir di
tengah masyarakat, lalu dipahami, ditafsirkan, diterjemahkan, dan didialogkan
dengan dinamika realitas historisnya.
Lebih jauh merumuskan metode tersebut, Fahrudin Faiz dalam
Hermeneutika al-Qur’an menyatakan, ketika asumsi-asumsi hermeneutika
diaplikasikan pada Ulumul al-Qur’an, ada tiga variable yang harus diperhatikan,
yaitu teks, konteks, dan kontekstualisasi. Tentang teks, sudah jelas ulumul
al-Qur’an telah membahasanya secara detail, misalnya dalam sejarah pembukuan
mushaf al-Qur’an dengan metode riwayat. Tentang konteks, ada kajian asbabul
nuzul, nasikh mansukh, makki-madani yang katanya menunjukkan perhatian terhadap
aspek “konteks” dalam penafsiran al-Qur’an. Tapi, faiz menyatakan bahwa
kesadaran konteks hanya membawa ke masa lalu. Maka kata dia, harus ditambah
variable kontekstualisasi, yaitu menumbuhkan kesadaran akan kekinian dan segala
logika serta kondisi yang berkembang didalamnya. Variabel kontekstualisasi ini
adalah perangkat metodologis agar teks yang berasal dari masa lalu dapat
dipahami dan bermanfaat bagi masa sekarang.
Dalam
hal ini dapat dicontohkan tentang hukum potong tangan dalam al-Qur’an. Meski
secara tegas dalam al-Qur’an tertulis kewajiban hukum potong tangan bagi
pencuri, namun hal tersebut dapat dipahami secara berbeda. Dalam kacamata
Hermeneutik, pesan yang tidak terkatakan adalah adanya keadilan dalam pemenuhan
hak dan kewajiban. Hak untuk memiliki suatu benda tidak boleh dicapai dengan
cara-cara yang mengesampingkan aturan-aturan yang ada. Pada masa teks tersebut
turun, keadaan sosial masyarakat Arab ketika itu memang meniscayakan adanya
hukum potong tangan. Suatu konstruk budaya Arab ketika itu memang menghendaki
adanya hukum potong tangan bagi pencuri. Namun, karena kondisi sosial budaya
masyarakat yang tidak sama, maka substansi dari hukum potong tangan lebih
dikedepankan. Di Indonesia, hukum potong tangan diganti dengan hukum penjara,
suatu upaya yang secara substantiv sama dalam mencegah pengulangan kejahatan
yang sama.[5]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Pengertian
hermeneutika
Secara
etimologi “hermeneutik” berarti “menafsirkan”. secara harfiah dapat diartikan
sebagai “menafsirkan” atau interpretasi. Sedangkan hermeneutika dari segi
terminologisnya dapat dikatakan bahwasanya hermeneutika adalah suatu proses
mengubah sesuatu dari situasi dan makna yang diketahui menjadi dimengerti.
2.
Sejarah
perkembangan hermeneutika
Hermeneutik
dapat dimaknai semacam proses dari yang samar ke yang jelas yang abstrak ke
yang konkrit. Bahkan kehendak tuhan juga tak dapat mengelak dari bahasa. Ia
termanifestasi dalam ayat kitab suci. Sejarah hermeneutik dapat ditelusuri dari
sana. Khususnya dalam sejarah teologi Yahudi.
3.
Cara
kerja hermeneutika
Pada
dasarnya semua objek itu netral sebab objek adalah objek. Subjek dan objek
adalah term – term yang korelatif atau saling menghubungkan diri satu sama
lain. Semua intrepretasi mencakup pemahaman.. Oleh karena itulah, dapat kita
pahami bahwa mengerti secara sungguh – sungguh akan dapat berkembang bila
didasarkan atas pengetahuan yang benar atau (correct).
4.
Bagaimana
hermeneutika dalam kajian agama islam ?
Hermeneutik
dalam pemikiran Islam pertama-tama diperkenalkan oleh Hasan Hanafi. Tradisi hermeneutik
telah dikenal luas diberbagai ilmu-ilmu Islam tradisional, terutama tradisi
ushul al-fiqh dan tafsir al-Qur’an.
B.
Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan, kami mengerti masih
banyak kekurangan dalam makalah ini. Untuk itu kritik dan saran yang membangun
senantiasa kami harapkan guna perbaikan makalah kami selanjutnya. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
E. Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, Kanisius,
Yogyakarta, 1999
Marzuki Wahid,
Studi Al-Qur’an Kontemporer Prespektif Islam dan Barat, Pustaka Setia, Bandung,
2005
Makmun Mukmin,
Ilmu Tafsir (Dari Ilmu Tafsir Konvensional sampai Kontrofersial), STAIN Kudus
Press, Kudus, 2008
[1] E. Sumaryono, Hermeneuti
Sebuah Metode Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1999, hal. 23
[2] Marzuki Wahid, Studi Al-Qur’an Kontemporer
Prespektif Islam dan Barat, Pustaka Setia, Bandung, 2005, hal. 133 - 134
[3] Makmun Mukmin,
Ilmu Tafsir (Dari Ilmu Tafsir Konvensional sampai Kontrofersial), STAIN
Kudus Press, Kudus, 2008, hal. 140 - 141
[4] E. Sumaryono, Op.Cit,
hal. 30 - 33
[5] http://nasrikurnialloh.blogspot.com/2013/05/pendekatan-hermeneutik-dalam-studi-islam.html, 27 Februari
2015, 13.00 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar